Senin, 31 Agustus 2015

Menyoal Budaya Literasi di Lingkungan Pesantren

Dalam salah satu hadist yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumudin dinyatakan bahwa “Tinta para pelajar (yang menulis) setara dengan darah para Syuhada.” Islam sudah memberikan jaminan kepada umat islam, ketika mau dan mampu menulis dengan tujuan dakwah, maka jaminannya adalah pahala setara Syuhada.
            Banyak kalangan ulama yang mampu menulis kitab-kitab yang jumlahnya tidak sedikit dan setiap kitabnya beratus-ratus hingga ribuan halaman. Di antaranya adalah Muhamad Ibn Idris Al-Syafi’I (767-820) melalui kitab Al-Umm, Abu Hamid Al-Ghazali, Muhamad Abu Al-Wahid Ibn Rusyd, serta tokoh yang sangat di kenal di Indonesia, yakni HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) melalui Tafsir Al-Azharnya.

            Selain beberapa tokoh tersebut, ada juga ulama asal Banten, Syeikh Nawawi Al-Bantani (1813-1897), kendati sudah berpulang ke rahmatullah, namun karya-karyanya sangat melegenda, bukan di lingkungan Banten semata, namun sudah ke dunia Internasional. Sudah banyak peneliti yang menjadikan karya-karyanya sebagai makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Sosok Syeikh Nawawi Al-Bantani sebagaimana yang dikatakan Jalaludin Al-Rumi,”Biarkan jasad-jasadku terkubur dalam-dalam di antara himpitan bumi, tetapi jiwaku akan tetap hidup bersemayam di antara bibir-bibir umat manusia.”
            Berbagai karya ulama-ulama besar tersebut sungguh luar biasa, beliau-beliau mengamalkan hadist nabi,”Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.” Sosok Syeikh Nawawi Batani menurunkan budaya literasinya kepada murid-muridnya, di antaranya KH. Hasyim Asy’ari, yang sekaligus pendiri NU, KH. Khalil dari Bangkalan Madura, dan ulama besar lainnya.
            Dalam proses literasi tersebut, memang tidak mudah dan tidak sebentar, perlu proses yang lama, perlu upaya yang intens guna mendapatkan hasil yang baik. Mengapa perlu waktu yang lama? Sebab berbicara budaya literasi, maka akan berbicara menyangkut Society Character Buildingyang time consuming (membutuhkan waktu lama), perlu terus disadari dan dilakukan sepenuh hati.
            Kedepannya Budaya literasi di lingkungan Pesantren akan menjadi rol model bagi lingkungan lainnya, terlebih pesantren memiliki misi yang jelas, yakni misi dakwah. Dengan aksi nyata, kolaboratif, terprogram, sinergis dan berkesinambungan bukan hal yang mustahil kalau suatu hari nanti remaja Indonesia, khususnya seleruh murid di Pesantren (santri) akan menjadi Syeikh Nawawi Batani baru, HAMKA baru, yang memiliki misi dakwah sesuai dengan zamannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar