Senin, 31 Agustus 2015

Pembelajaran Menulis yang Membawa ke Surga

Pembelajaran Menulis yang Membawa ke Surga

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala,” Sayyid Quthub

"Kalau Engkau bukan anak raja, dan engkau bukan anak ulama' besar, maka jadilah penulis" (Imam Al-Ghazali)

"Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah....."(Dari perkataan Qatadah, Tafsir al-Qurthubi, 2002)

"Setetes tinta Ulama lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada ribuan darah syuhada' yang meninggal di medan perang" (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Bab Ilmu)


Dari kutipan di atas digambarkan bahwa menulis itu penting bagi seseorang, membaca dan menulis erat kaitannya, seseorang yang bisa membaca harus mau untuk menulis. Menulis semua yang ia baca dan ketahui yang dianggap penting untuk disampaikan. Tulisan dapat menjadi media penyampai sejarah, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam sejarah tercatat bahwa kejayaan Islam pernah teraih melalui budaya baca tulis. Bahkan, wahyu pertama yang diterima oleh nabi akhir zaman, Muhammad SAW berbias perintah untuk membaca (iqra') dan menulis ('allama bi al-qalam). Manfaat menulis di antaranya adalah :
1. Mengekspresikan yang ada dalam pikiran kita
Menulis adalah media untuk mencurahkan apa yang ada di pikiran kita, kebebasan terdapat dalam menulis. Terkadang dengan menulis kita akan merasa tenang dan mendapatkan kepuasaan tertentu. Dalam tulisan kita dapat memberi tahu seseorang yang secara lisan kita tidak dapat menyampaikannya. Ekspresi diri merupakan kebahagiaan yang utama, maka menulislah.
2. Personal branding 
Dengan tulisan anda dapat membangun citra diri (self image) dan promosi diri (personal branding). Tulisan dapat menjadi penunjang tujuan, karir atau pekerjaan anda. Tulisan dapat membangun karakter anda, selain media untuk menyampaikan tujuan anda.


3. Menulis itu menyehatkan
Menulis juga ternyata baik untuk kesehatan. Menulis dapat menjernihkan pikiran, menghilangkan trauma, membantu menyelesaikan masalah selain untuk mendapatkan dan menggali informasi-informasi baru, karena dengan menulis kita akan berpikir untuk menuliskan sesuatu yang baru, yang dapat menambah pengetahuan kita dan membuat orang tertarik membacanya. Dalam jurnal Clinical Pyschology, James Pennebaker, Ph.D dan Janet Seager, orang yang memiliki kebiasaan menulis akan memiliki kondisi mental yang lebih sehat dari mereka yang tidak memiliki kebiasaan menulis. Pikiran yang sehat tentunya akan memiliki kekuatan untuk memberi dampak positif pada tubuh kita secara positif.
4. Menulis merupakan media penyampai dan berbagi
Dengan menulis seseorang dapat menyampaikan dan berbagi sesuatu dengan orang lain. Tulisan dapat menghubungkan seseorang dengan orang lainnya, orang banyak bahkan dunia. Dengan tulisan seseorang yang berbeda generasi dapat mengetahui dan merasakan kehidupan dari generasi lain. Sejarah disampaikan dengan tulisan, sejarah pun dapat dirubah dengan sebuah tulisan.
5. Mengasah ketajaman pikiran
Dengan menulis seseorang dipaksa untuk berpikir secara baik, sistematis dan efektif. Karena dengan tulisan seseorang ingin dapat dipahami oleh orang lain, dalam hal ini tulisannya ingin dapat dimengerti oleh orang lain yang membacanya.
Mulailah menulis, dengan menulis banyak manfaat yang kita dapat selain contoh manfaat yang diuraikan di atas. Terlebih pada saat ini media untuk menulis sudah banyak tersedia, menulis tidak hanya dengan menggunakan pena dan kertas saja, tetapi bisa melalui media elektronik, internet seperti blogging dan sebagainnya. Dengan menulis kita bisa menjadi bagian dari dunia dan dapat mempengaruhi dunia.


Problematika di Dunia Pendidikan dan Pembelajaran

Sudah sewajarnya, ketika seseorang menjalani kehidupan menemukan masalah. Ada orang yang memang secara sadar dalam menghadapi masalah, namun tak sedikit orang yang tidak sadar, padahal dirinya sedang mengalami masalah. Rasanya tidak ada orang yang sengaja mencari masalah, banyaknya orang mengatakan saya lagi didatangi masalah yang bertubi-tubi. Namun, pada kenyataannya yang menimbulkan masalah adalah diri kita sendiri, selaku manusia, baik secara sadar atau tidak manusia tersebut menjadi pemicu masalah.
            Bagaimana dengan masalah yang ada di dunia pendidikan?
            Berbicara pendidikan, dan berbicara masalah, sangat banyak sekali, Pertama masalah yang timbul dari atas, seperti kebijakan pemerintah yang terkadang bahkan seringnya menjadikan sosok guru menjadi korban, seperti pergantian Kurikulum, pengangkatan CPNS yang awalnya digembor-gemborkan namun ketika sosok di atas sudah jadi, mereka lupa, seperti lagi yang belakangan ini terjadi lamanya proses mendapatkan NUPTK, sebab banyak hal yang tidak akan berjalan ketika NUPTK tidak didapatkan, di antaranya mahasiswa yang akan mendapatkan beasiswa, ternyata terkendala oleh belum adanya NUPTK, padahal jumlah beasiswa yang akan diterimanya Rp.7.000.000-an, belum lagi guru yang sudah lama mengajar dan sudah berijazah s1, namun karena belum ada NUPTK, pencairan Tunjangan Fungsionalnya tertahan atau mungkin tidak akan cair. Itulah segelintir problem dari atas (kebijakan).

            Dari samping, tak sedikit pengajar yang bersinggungan dengan pengajar lagi, seperti ada guru yang sudag PNS, PNS dan sertifikasi, Non-PNS sertifikasi, namun kenyataan di lapangan kinerjanya jauh lebih baik yang baru masuk dengan status honorer atau sukwan yang kadang dibayarnya kapan dan tak menentu.
            Guru dengan gaji di atas rata-rata, datang kesekolah sesukanya, kadang pukul 09.00 baru datang, dan pulang lebih awal, sebelum dhuhur, tak sedikit yang sudah meninggalkan sekolah, sedangkan guru honorer dan sukwan selalu setia datang lebih awal dan pulang belakangan. Inlah cerminan pendidikan di Indonesia, belum ada kesadaran terhadap gaji yang diterimanya.
            Permasalahan lain yang ada di tingkat bawah, yaitu sibuknya guru mengatur siswa yang bolos, merazia siswa yang rambutnya panjang, dan sekali lagi, itu pekerjaan dan masalah yang selalu dibebankan kepada guru dengan status honorer dan sukwan, sebab yang namanya PNS, dengan alibi sudah mengajar, kewajiban sudah selesai, masalah anak rambut panjang, pakaian tak sesuai, merokok atau bahkan hal negative lainnya, seakan dibebankan kepada yang honorer dan sukwan dengan bahasa, mungpung ada yang honor dan sukwan.
            Jikalah pendidikan di Indonesia semacam ini, mau dibawa kemana anak didik kita sekarang, cita-cita Indonesia Emas di tahun 2045, seakan mimpi yang berkepanjangan tak tercapai.


Peningkatan Minat Baca Siswa dengan Peningkatan Kualitas Perpustakaan

Dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN lainnya, minat baca siswa di Indonesia cukup rendah. Hal tersebut berbeda dengan  Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan lainnya. Banyak factor yang menyebabkan minat baca siswa di Indonesia rendah, salah satunya kurangnya buku yang membuat siswa tertarik membaca, seperti buku yang sama setiap tahunnya di perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan daerah kabupaten/kotanya.

            Bagaimana cara menjadikan perpustakaan layaknya kantin sekolah?
            Tentu bukan pekerjaan mudah ketika pihak sekolah ingin “menyulap” perpustakaan layaknya kantin yang setiap harinya dikunjungi siswa, bahkan setiap istirahatnya selalu ada siswa yang membeli makanan. Satu hal yang menjadi pemikiran kita, yakni bagaimana caranya agar siswa ke perpustakaan menjadi kebutuhan, layaknya makanan yang setiap siswa lapar langsung datang ke kantin dan membelinya, berapapun harganya.
            Sudahkah siswa kita tahu fungsi dari perpustakaan, selain dari tumpukan buku mata pelajaran? Rasanya perlu kita kenalkan fungsi perpustakaan yang sangat penting, di antaranya, fungsi Prevasi, yakni menyimpan dan menjaga kelestarian produk ilmu dan budaya di lingkungan sekolah serta mengumpulkan dan menyimpan bahan lain, fungsi Informasi, yaitu menjamin lingkungannya terinformasikan dengan biak, terutama hal yang berkaitan dengan pendidikan pembelajaran, ilmu, agama, dan kehidupan sehari-hari, fungsi Pendidikan, yaitu ikut melaksanakan pendidikan baik untuk siswa di sekolah maupun untuk pihak lain di dalam dan di sekitar sekolah, fungsi Dakwah, yaitu menampilkan perpustakaan sekolah sebagai suatu unit kerja yang berada di lingkungan sekolah  yang mampu menarik lingkungannya baik peserta didik, pendidik, orang tua siswa dan masyarakat, fungsi Penelitian, fungsi budaya dan fungsi rekreasi.
            Beberapa langkah untuk meningkatkan minat baca siswa agar membaca dan meminjam buku perpustakaan yaitu ;
1.      Pembenahan ruang perpustakaan, tidak ada salahnya konsep lesehan di rumah makan diterapkan di perpustakaan, sehingga menyebabkan siswa merasa nyaman dan betah.
2.      Pembinaan koleksi perpustakaan  yang terdiri dari buku pelajaran pokok, buku pelajaran pelengkap, buku bacaan, buku fiksi (novel, cerpen, cerbung, puisi) dan buku sumber lainnya.
3.      Tenaga pengelola perpustakaan sekolah (pustakawan), pustakawan harus mampu menjadikan koleksian buku dan ruangan layaknya rumah makan yang nyaman dan mengasyikan.
Simpulannya, ada banyak cara untuk mensiasati agar siswa rajin ke perpustakaan, selama ada kemauan untuk menjadikan kualitas perpustakaan lebih baik, maka selama itu juga harapan masih ada.


Menyoal Budaya Literasi di Lingkungan Pesantren

Dalam salah satu hadist yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumudin dinyatakan bahwa “Tinta para pelajar (yang menulis) setara dengan darah para Syuhada.” Islam sudah memberikan jaminan kepada umat islam, ketika mau dan mampu menulis dengan tujuan dakwah, maka jaminannya adalah pahala setara Syuhada.
            Banyak kalangan ulama yang mampu menulis kitab-kitab yang jumlahnya tidak sedikit dan setiap kitabnya beratus-ratus hingga ribuan halaman. Di antaranya adalah Muhamad Ibn Idris Al-Syafi’I (767-820) melalui kitab Al-Umm, Abu Hamid Al-Ghazali, Muhamad Abu Al-Wahid Ibn Rusyd, serta tokoh yang sangat di kenal di Indonesia, yakni HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) melalui Tafsir Al-Azharnya.

            Selain beberapa tokoh tersebut, ada juga ulama asal Banten, Syeikh Nawawi Al-Bantani (1813-1897), kendati sudah berpulang ke rahmatullah, namun karya-karyanya sangat melegenda, bukan di lingkungan Banten semata, namun sudah ke dunia Internasional. Sudah banyak peneliti yang menjadikan karya-karyanya sebagai makalah, skripsi, tesis, dan disertasi. Sosok Syeikh Nawawi Al-Bantani sebagaimana yang dikatakan Jalaludin Al-Rumi,”Biarkan jasad-jasadku terkubur dalam-dalam di antara himpitan bumi, tetapi jiwaku akan tetap hidup bersemayam di antara bibir-bibir umat manusia.”
            Berbagai karya ulama-ulama besar tersebut sungguh luar biasa, beliau-beliau mengamalkan hadist nabi,”Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.” Sosok Syeikh Nawawi Batani menurunkan budaya literasinya kepada murid-muridnya, di antaranya KH. Hasyim Asy’ari, yang sekaligus pendiri NU, KH. Khalil dari Bangkalan Madura, dan ulama besar lainnya.
            Dalam proses literasi tersebut, memang tidak mudah dan tidak sebentar, perlu proses yang lama, perlu upaya yang intens guna mendapatkan hasil yang baik. Mengapa perlu waktu yang lama? Sebab berbicara budaya literasi, maka akan berbicara menyangkut Society Character Buildingyang time consuming (membutuhkan waktu lama), perlu terus disadari dan dilakukan sepenuh hati.
            Kedepannya Budaya literasi di lingkungan Pesantren akan menjadi rol model bagi lingkungan lainnya, terlebih pesantren memiliki misi yang jelas, yakni misi dakwah. Dengan aksi nyata, kolaboratif, terprogram, sinergis dan berkesinambungan bukan hal yang mustahil kalau suatu hari nanti remaja Indonesia, khususnya seleruh murid di Pesantren (santri) akan menjadi Syeikh Nawawi Batani baru, HAMKA baru, yang memiliki misi dakwah sesuai dengan zamannya.


Mengajar dengan Model Pembelajaran yang Efektif

Pengajar, Mengajar dan Pelajar. Adalah tiga kata yang silih berkaitan dalam pendidikan dan pembelajaran. Pengajar adalah guru, mengajar adalah proses tranformasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketakwaan dari sosok pengajar kepada peserta didik (pelajar). Sedangkan pelajar, sosok yang siap baik lahir maupun batin untuk menerima ilmu pengetahuan, teknologi dan ketakwaan.
            Bagaimana caranya agar penyampaian materi tercapai dengan tepat?
Salah satunya yaitu menggunakan model pembelajaran yang efektif. Berbicara efektif maka berbicara tepat guna, tepat secara penggunaan, tepat secara waktu (tidak molor), tepat secara tujuan yang dicapai serta mampu digunakan oleh peserta didik, baik secara langsung maupun pada waktu yang akan datang.

Berbagai pelatihan yang penulis ikuti dan ketika dipraktekan cukup efektif, di antaranya yaitu model Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Learning), Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning). Penggunaan model pembelajaran tersebut baik, jika memang cocok dengan tuntutan Materi yang dipelajari oleh peserta didik.
Bagaimana pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Learning)? Langkah pelaksanaannya yaitu Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), Data collection (pengumpulan data), Data processing (pengolahan data), Verification(pembuktian), Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi).
Bagaimana pelaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)? Langkahnya yaitu sebagai berikut; Mengorientasikan peserta didik terhadap masalah, Mengorganisasi peserta didik untuk belajar, Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Sedangkan yang terakhir yaitu cara penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning), yaitu ; Penentuan Pertanyaan Mendasar, Menyusun Perecanaan Proyek, Menyusun Jadual, Evaluasi Pengalaman, Menguji Hasil Dan Terakhir Monitoring.
Berbagai model Pembelajaran tersebut baik, jika memang digunakan pada materi yang sesuai, dalam hal ini jadi kembali lagi kepada kemampuan pengajarnya untuk menyesuaikan antara materi yang diajarkan dengan model pembelajaran yang dirasakan cocok. Yang pasti, penggunaan model pembelajaran tersebut digunakan sebagai upaya untuk mengefektifkan penyampaian materi yang disampaikan dan meningkatkan kualitas penguasaan peserta didik terhadap materi yang diajarkan.
Simpulannya, materi ajar yang banyak, peserta didik dengan latar belakang yang beraneka ragam, berbagai metode, model pembelajaran yang banyak, kembali lagi kepada kecermatan guru dalam menggunakannya.



Kearifan Lokal yang Terlupakan oleh Gengsi Zaman Modern

Zaman terus berjalan. Perjalanan zaman tidak hanya perjalanan waktu, namun menyisakan berbagai keuntungan dan problematika. Satu sisi memiliki manfaat yang sangat bagus, seperti adanya teknologi internet, kini tidak ada jarak antara satu daerah dengan daerah lain, setiap orang yang terkoneksi dengan internet akan saling berhubungan (komunikasi), namun sisi lainnya, tidak dipungkiri individualis akan terus berjalan, sebab orang lebih sibuk dengan kehidupan sendirinya bersama teknologi, seakan membiarkan orang di sampingnya tak saling tegur sapa.

            Belakangan ini, orang yang tidak tahu dan tidak mampu IT, rasanya sangat memalukan, minimalnya mampu menggunakan Handphone. Tak sedikit pelajar yang usianya masih belia sudah membawa HP ke mana-mana, termasuk ke sekolah, bagi sebagian sekolah hal tersebut diperbolehkan, namun sebagian lagi dilarang. Terlepas dari itu semua, ada beberapa catatatan yang patut kita perhatikan, di antaranya remaja kita semakin tinggi gengsinya ketika mengerjakan hal yang berbau adat istiadat, kesenian daerah, kearifan local. Masih adakah remaja yang mau menari Jaipong, selain agenda pembelajaran seni Tari? Rasanya sulit, walaupun memang masih ada. Masih adakah remaja yang rela ikut orang tuanya yang berpekerjaan sebagai petani, hingga remaja tersebut ikut menanam padi dan memanennnya? Jarang hal tersebut kita temui, sebab gengsi zaman modern ini yang membawa mereka seakan asing dengan kearifan local di sekelilingnya.
            Catatan lainnya yang cukup menggelitik, anak sekarang sudah tak mengenal permainan local, seperti petak umpet, pecle, atau permainan lainnya yang berbau kedaerahan. Mereka lebih asyik dengan permainan (game) onlinenya, rela menghabiskan uang Rp. 5000 hingga Rp. 20.000 setiap harinya.
            Tak sedikit anak sekolah yang berangkat dari rumah dan diberi bekal oleh orang tuanya, ternyata tidak sampai ke sekolah, melainkan berbelok ke warnet. Sungguh dilema sekali pendidikan zaman sekarang, sudah kebijakan pemerintah yang seakan menyulitkan guru (terlebih honorer dan sukwan) , ditambah kelakukan anak didik yang sudah terbawa arus teknologi. Bagi pengelola warnet hal tersebut menguntungkan, jangankan ada perasaan ingin ikut membangun generasi bangsa yang lebih baik, kenyataannya malah membiarkan dan bersenang hati ketika warnetnya didatangi oleh siswa padahal masih jam pembelajaran.

            Bagaimana pendidikan dan generasi Indonesia ke depannya?

Cara Jitu Mengajak Siswa Mau dan Mampu Menulis di Berbagai Media

Bagaimana kabarnya pembaca? Semoga selalu dalam keadaan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mencoba berbagi gagasan atau sekadar mengingatkan kembali yang sebelumnya pernah dibaca atau dipelajari. Berbicara siswa, maka akan berbicara usia yang ingin serba mencoba, bagaimana jadinya jika rasa ingin mencoba tersebut diaplikasikan dalam keburukan, kenegatifan? Rasanya hal tersebut akan berbahaya, namun akan menjadi kebaiakan, jika rasa ingin mencobanya dijadikan dasar mencoba hal yang positif yang nantinya akan berdampak positif terhadap dirinya maupun orang lain.
            Salah satu rasa ingin mencoba pada diri remaja adalah menggunakan media internet, media social online, bagaimana jika dibiarkan begitu saja, rasanya masa depan remaja tersebut akan negative, sebab yang namanya internet serba ada, baik hal yang mengajak ke neraka maupun surga.
            Salah satu hal yang positif yang bisa dilakukan oleh remaja adalah menulis. Ketika ada remaja yang mengatakan, saya tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang penulis, rasanya itu bohong, sebab setiap orang memiliki kemampuan untuk menulis, terlepas menulis apapun itu, sebab dunia ini tidak terlepas dari tulis menulis.
            Bagaimana caranya menjadikan remaja mau dan mampu menulis?
            Ada beberapa cara jitu untuk menjadikan remaja rajin menulis, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Bambang Trim dalam bukunya “Menjadi Powerful Dai dengan Menulis Buku,”yaitu :
            Pertama, banyak membaca, sebagaimana yang Allah perintahkan pertama kepada Baginda Nabi Muhamad Saw., Iqra (Bacalah), sebab dengan membaca akan menjadikan pemikiran seseorang menjadi lebih luas, tidak kerdil, sebab dunia ini luas dan memerlukan ilmu dalam menjalani kehidupan ini.

            Kedua, banyak berjalan, menginstal pengalaman, sebab bagi seorang penulis atau bagi orang yang tertarik menulis, pengalaman bisa dijadikan bahan tulisan, bahkan bagi seorang penulis, kemiskinan itu bukan saat tidak ada harta, melainkan saat tidak memiliki ide untuk dituangkan menjadi tulisan, baik karya ilmiah maupun karya sastra (puisi, cerpen, dan novel).
            Ketiga, banyak bersilaturahim, install pengalaman orang lain, setiap orang memiliki pengalaman yang beragam, maka dari itu kita bisa “memanfaatkan” pengalaman orang lain sebagai bahan tulisan kita. Bahkan bagi seorang penulis karya sastra, jika ada teman, sahabat atau siapa saja yang curhat, maka curhatan tersebut akan menjadi bahan tulisan dan itu bahan tulisan yang gratisan.

            Jika gagasan, ide tulisan sudah ada maka selanjutnya mengembangkan menjadi tulisan. Kalaulah kita menghitung, usia sekarang 25 tahun, kita menulis sejak usia 15 tahun, maka sudah 10 tahun kita menulis, andaikata sehari 2 halaman karya tulis, maka 2 x 10 tahun x 365 hari, hasilnya adalah 7.300 halaman yang sudah kita tulis, luar biasa banyak. Masalahnya hanya satu yaitu tidak mau bukan tidak mampu, semoga ini menjadi pendorong kita agar mampu membangkitkan semangat untuk menjadi penulis.

Aspek Kekuatan Historis Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pembelajaran

Sudah sepantasnya kita sebagai warga Indonesia berbangga hati ketika menggunakan bahasa Indonesia, baik dalam pembelajaran, pergaulan, atau sekadar di lingkungan keluarga. Sejarah sudah mencatatkan perjalanan panjang bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan bahasa negara. Bagaimana tidak, negara ini pernah dijajah oleh Belanda yang begitu keterlaluan hingga bahasa dalam pembelajaran mesti bahasa Belanda, selanjutnya negara kita pernah dijajah oleh bangsa Jepang, yang memang sebentar, namun “menyakitkan”. Di manapun penjajahan tidak ada yang indah, melainkan menyengsarakan.
          Tentu, rakyat Indonesia tidak mau berdiam diri membiarkan bangsa dan bahasa Indonesia disepelekan dan dibiarkan mati dalam era penjajahan. Dengan segenap perjuangan akhirnya keberanian muncul ketika adanya peran strategis terutama sejak bahasa Indonesia (waktu itu disebut  bahasa Melayu) memiliki sistem ejaan (C. Van Ophuijsen 1901). Bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa penerbitan berbagai bacaan rakyat (sastra, surat kabar, majalah), bahasa radio, dan bahasa perhubungan antarsuku bangsa di Indonesia. Saat itu bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi perjuangan kemerdekaan.
Selanjutnya perjuangan terus berjalan, bahkan bahasa Indonesia mampu menyatukan beragam suku bangsa yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasa ke dalam satu kesatuan bangsa Indonesia yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda adalah pengakuan terhadap (1) satu kesatuan wilayah (satu tanah air, tanah Indonesia), (2) satu kesatuan bangsa (satu bangsa, bangsa Indonesia), dan (3) satu bahasa persatuan (menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia). Perluasan  wilayah penggunaan  bahasa Indonesia dalam berbagai keperluan tersebut, terutama untuk perjuangan kemerdekaan, telah melahirkan sikap kesetiakawanan, kebersamaan, keikhlasan, kejujuran, pengorbanan, dan kepahlawanan.
Hingga puncaknya saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai wahana untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia (Teks Proklamasi ditulis dalam bahasa Indonesia) serta diakui oleh dunia internasional sebagai negara merdeka. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, bahasa perjuangan yang mampu menyatukan dan membangun keindonesiaan itu menyandang peran amat strategis dan mulia, yaitu menjadi bahasa negara (Pasal 36  Undang-Undang Dasar 1945). Dengan demikian, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan makin kokoh (memiliki landasan hukum) dan terus memainkan peran dalam pencerdasan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut. Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan merupakan pemikiran strategis para pendiri republik ini karena bahasa perjuangan itu ditempatkan sebagai sarana penguasaan ilmu, teknologi, dan seni.

Di Indonesia, terdapat lebih dari 700 bahasa daerah yang masing-masing memiliki tradisi dan kebudayaan, maka kondisi multilingual dalam masyarakat multibudayaal itu akan menyebabkan perkembangan bahasa Indonesia beragam sesuai dengan lingkungan dan budaya masyarakat. Kondisi masyarakat semacam itu makin mengukuhkan kebijakan penguatan dan penataan ulang kurikulum bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak dapat dilakukan secara lokal tetapi harus bersifat nasional.
Indonesia tidak mematikan bahasa daerah justru sebaliknya yakni memliharanya dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai perantaranya. Satu sisi rakyat kita menjadi rakyat secara nasional, yakni rakyat Bangsa Indonesia, sisi lain mencintai kebudayaan, latar belakang, adat istiadat dan kearifan lokalnya (local wisdom).
Masih adakah alasan untuk membiarkan bahasa Indonesia mati, di era modern ini?



Apa dan Bagaimana Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks?

Berbicara bahasa Indonesia, sangat unik sekali, satu sisi menjadi bahan yang dipelajari sisi lain menjadi bahan pelajaran yang memang harus dilakukan (komunikasi), bukan sekadar teori. Seperti itu pula amanat Sumpah Pemuda poin ke 3, “Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Berangkat dari itu, maka sebagai pendidik harus bangga membelajarkan mata pelajaran bahasa Indonesia, dan bagi peserta didik harus bangga dan lebih semangat mempelajari bahasa Indonesia, salah satunya dengan pembelajaran berbasis teks.
Pembelajaran berbasis teks dilandasi oleh asumsi bahwa bahasa adalah alat berkomunikasi dan  berkomunikasi adalah kegiatan berwacana dan wacana direalisasikan dalam teks. Dengan asumsi tersebut, maka tugas pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kemampuan memahami dan menciptakan teks karena komunikasi terjadi dalam teks atau pada tataran teks. Asumsi inilah yang digunakan sebagai dasar pengembangan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia domain kognitif dan psikomotor dalam kurikulum 2013.

Komunikasi terjadi dalam teks ini dilandasi fakta bahwa kita hidup di dunia kata-kata. Ketika kata-kata itu dirangkai menjadi satu kesatuan untuk mengomunikasikan makna tertentu, itu artinya kita telah menciptakan teks. Ketika kita berbicara atau menulis untuk mengomunikasikan pesan tertentu, itu artinya kita telah menciptakan teks. Ketika kita menyimak atau membaca, itu artinya kita menginterpretasikan makna yang ada dalam teks.
Menciptakan atau menyusun teks untuk tujuan tertentu berarti kita melakukan pemilihan bentuk dan struktur teks yang akan kita gunakan agar pesan tersampaikan secara tepat. Pemilihan bentuk atau struktur teks oleh penutur untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu kegiatan sosial komunikatif ditentukan oleh konteks situasi yang dihadapi (Halliday, 1985). Konteks situasi merupakan kesatuan dari beberapa unsur yang tidak dapat terpisahkan dan saling memengaruhi satu sama lain, yaitu apa yang sedang dibicarakan, siapa yang terlibat dalam pembicaraan tersebut (sifat dan peran masing-masing, serta sifat hubungan antara satu dengan lainnya), saluran yang digunakan (tertulis, lisan, atau kombinasi keduanya, serta tujuan sosialnya (persuasif, ekspositori, deduktif, dsb.).
Suatu tindakan komunikasi yang dilakukan untuk mencapai satu tujuan tertentu diwujudkan dalam bentuk kongkrit berupa teks. Untuk satu tujuan yang sama, biasanya tidak digunakan satu teks yang persis sama selamanya, tetapi bervariasi dalam hal isi maupun bentuk bahasa yang digunakan. Meskipun sama, kemiripan antara teks-teks tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi, bahkan oleh orang awam yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu bahasa atau ilmu komunikasi. Beberapa teks yang memiliki kemiripan dalam tindakan yang dilakukan itulah yang biasanya dikelompokkan dalam satu genre yang sama (Puskur, 2007).
Konsep genre dikaitkan dengan tindakan komunikatif dalam konteks budaya, sedangkan teks pada konteks yang lebih spesifik, yaitu situasi komunikatif yang ada. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya, dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda (Mahsum, 2013). Baik genre maupun teks tentunya dapat digunakan sebagai satuan untuk menyusun program pendidikan bahasa. Keduanya sama-sama berkenaan dengan potensi bahasa sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan berwacana secara efektif.
Jenis teks dapat dikelompokkan menjadi dua kategori  besar, yaitu teks sastra dan teks faktual (Anderson, 2003).


Sabtu, 29 Agustus 2015

Mengefektifkan Pembelajaran dengan Media Pembelajaran

Mengefektifkan Pembelajaran dengan Media Pembelajaran
           
            Membahas pendidikan dan pembelajaran tidak akan pernah selesai. Pendidikan dan pembelajaran bukan hal statis, yang selalu berjalan di tempat, namun suatu proses yang membutuhkan waktu lama dan selalu dinamis ke depan.
            Bergantinya kurikulum sebagai jawaban atas kedinamisan pendidikan dan pembelajaran. Untuk menjawab kedinamisan tersebutlah, maka kurikulum berganti. Memang tidak dipungkiri banyak masyarakat atau bahkan akademisi sendiri yang mengatakan pergantian kurikulum tidak terlepas dari pergantian menteri di setiap kabinet baru atau dalam kabinet pemerintahan yang sama. Terlepas dari prasangka sebagian besar masyarakat tersebut, memang harus menjadi PR tersendiri agar pergantian kurikulum tidak dicap karena bergantinya menteri.

            Ada hal yang kurang mendapat perhatian dari setiap pergantian kurikulum. Banyak kalangan yang sebatas menyoroti secara berlebihan pada pergantian kurikulum, padahal yang mengajar di kelas bukan kurikulumnya, namun guru. Sebagus apapun kurikulumnya jika gurunya tidak memiliki kreativitas dalam mengajar, maka setiap tahunnya anak didik akan mendapatkan perlakuan yang sama dari guru tersebut, sehingga ada pandangan belajar itu membosankan.
            Dalam hal ini penulis bukan berarti menyepelekan kurikulum, sebab sistem juga memang diperlukan, namun yang harus mendapat perhatian besar adalah yang menjalankan sistem kurikulum tersebut di lapangan (kelas).
            Kreativitas guru dalam mentransformasikan materi dibutuhkan sekali. Bagaimana caranya? Yaitu dengan menggunakan media yang sesuai, dalam artian efektif pada materi yang disampaikan. Media berarti perantara, atau menurut bahasa latinnya “medium”. Berdasarkan hal tersebut, maka media pembelajaran dapat dikatakan sebagai perantara guru dalam mentransformasikan materi pembelajaran. Bila “perantaranya” efektif maka hasil pembelajaran pun akan efektif dan berdampak pada kualitas peserta didik yang semakin tinggi.
            Pembaca mungkin sedikit aneh dengan beberapa kata yang berada di paragrap di atas. Ada kata “transformasikan” bukan transfer materi pembelajaran. Mengapa seperti itu, apakah kedua kata tersebut (transformasi, transfer) berbeda? Menurut beberapa ahli, mentransformasikan bukan sekadar mengantarkan materi dari guru kepada siswa, namun harus mampu memahamkan siswa dan siswa merasa terpahamkan, bila transfer sekadar mengirim materi dan siswa sekadar menerimanya, seperti mentransfer uang lewat ATM, sekadar mengirim dan menerima.
            Sungguh mulia tugas guru, bukan sekadar mengantar materi pembelajaran, namun harus menjadi makhluk yang kreatif, unik dan mampu mengemas materi pembelajaran dengan media yang unik dan menarik perhatian peserta didik. Selain itu sosok guru sosok mujahid dunia akhirat, sebab bukan sekadar memberikan pembelajaran namun harus mampu menjadi teladan di hadapan peserta didik dan masyarakat sekitar.